Peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (PKI) bagi bangsa Indonesia mungkin tidak akan dilupakan. Pasalnya, dalam peristiwa tersebut menewaskan 6 jenderal yakni Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R Suprapto, Mayjen TNI MT Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo dan Lettu Pierre Tendean yang dibunuh secara keji oleh PKI.
Terbongkarnya G 30/SPKI itu kemudian dijadikan cikal bakal peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Setiap tanggal 1 Oktober digelar upacara nasional mengenang peristiwa tersebut di halaman Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya. Termasuk di kantor-kantor instansi pemerintah maupun sekolah-sekolah.
Kita semua tahu dari pelajaran sekolah apa sebabnya diberi nama Hari Kesaktian Pancasila, yaitu telah terbukti bahwa Pancasila itu ampuh dan berhasil menghalau dan menumpas komunis dan PKI dari muka bumi Indonesia dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran pada percobaan kudeta PKI tahun 1965. Meskipun sampai kini sejarawan masih melakukan kajian-kajian terhadap tudingan pelaku pembantaian ke enam jenderal dan seorang letnan.
Seiring dengan pergantian pemimpin di negara ini, maka lambat-laun peringatan Hari Kesaktian Pancasila juga mulai ditiadakan.
Menurut sejarawan Universitas Negeri Medan, Dr Phil Ichwan Azhari MS, pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri, peringatan seremonial ini sudah tidak dilaksanakan lagi. Demikian juga dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya sempat sekali memperingatinya dan tidak lagi di tahun-tahun berikut kepemimpinannya.
Tidak adanya lagi upacara peringatan peristiwa monumental itu dinilai Ichwan merupakan konsekuensi dari manipulasi sejarah yang diciptakan penguasa pada masa lalu. Sebab begitu kepemimpinannya berakhir, maka terjadi delegitimasi yang dasarnya timbul karena sesuatu yang dipaksakan.
Bagi Ichwan, peristiwa itu memang harus diperingati setiap warga negara Indonesia sebagai bentuk mengingat sejarah yang telah menewaskan 6 jenderal dan 1 perwira pertama (Pama). "Harus juga dikaji bahwa pelajaran sejarah di sekolah perlu diluruskan. Sebab pada tragedi 30 September itu masih misterius apakah benar pelakunya PKI, apalagi pasca 1 Oktober terjadi pembantaian sehingga menewaskan sedikitnya 500 warga," ujarnya.
"Namun di balik peristiwa tersebut, kita perlu memaknai Hari Kesaktian Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sebab Pancasila yang lahir dari akar sejarah budaya bangsa itu mengandung nilai-nilai luhur universal yang menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia yakni Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Meskipun kita tidak tahu apakah Pancasila telah benar-benar diamalkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia," ujar Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Lembaga Penelitian (Pussis-Unimed) ini.
Hal senada juga disampaikan Erond Damanik yang juga Peneliti di Pussis-Unimed. Menurutnya, sampai saat ini sejarawan masih terus melaukkan kajian terhadap siapa pelaku yang sebenarnya yang telah membunuh para jenderal tersebut.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila menurut Erond harus diperingati terutama para siswa sebagai generasi penerus. Karena itu dia mengaku prihatin dengan mulai ditiadakannya monumental peristiwa tersebut yang selama ini telah menjadi suatu tradisi setiap tahunnya.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila menurut Erond harus diperingati terutama para siswa sebagai generasi penerus. Karena itu dia mengaku prihatin dengan mulai ditiadakannya monumental peristiwa tersebut yang selama ini telah menjadi suatu tradisi setiap tahunnya.
"Hal ini penting agar sejarah itu tidak memudar. Meskipun materi pelajaran sejarah tentang peristiwa G 30 S/PKI masih tetap diberlakukan di sekolah-sekolah," ucap Erond.
Mulai "luntur"
Sementara itu peringatan Hari Kesaktian Pancasila ini di sejumlah sekolah di Medan bukan saja kehilangan makna tapi juga sudah mulai "luntur". Ini terlihat upacara bendera yang tak lagi dilaksanakan sebagaimana rutinitas tahunan.
Menurut Aritya, Ketua Osis Sekolah Menengah Atas (SMA) 17 Medan, dalam peringatan kesaktian Pancasila kali ini sama seperti tahun sebelumnya. Tidak ada upacara atau seremonial dalam rangka memperingati hari bersejarah itu.
"Nggak ada. Kita juga heran dan penasaran kenapa tidak ada lagi upacara seperti masih duduk di SMP dulu," katanya.
Aritya mengaku tidak tahu apa alasan peringatan upacara tersebut tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Baginya, peringatan 1 Oktober ini satu hal yang penting untuk dikenang. Sehingga tahu dan mengerti sejarah lahirnya pancasila.
"Ini penting, agar kita tau menghargai para pejuang yang telah mempertahankan ideologi," ujarnya.
Sementara itu Reni Siregar, siswi kelas XII SMA Negeri 5 Medan mengaku, tidak pernah mengikuti upacara perigatan Hari Kesaktian Pancasila, karena di sekolahnya memang tidak diadakan upacara nasional tersebut.
Menurut remaja manis ini, jika tidak salah, setiap menjelang peringatan hari Kesaktian Pancasila warga selalu disarankan untuk pasang bendera setengah tiang pada tanggal 30 September untuk mengenang para korban PKI. Setelah itu dilanjutkan esok harinya pada tanggal 1 Oktober dengan pemasangan bendera penuh.
"Perayaan hari Kesaktian Pancasila dirayakan untuk membangkitkan semangat persatuan setelah masyarakat mengalami masa ketakutan, mengetahui pembunuhan massal para jenderal," ujar Reni seraya menyebutkan tetap menginginkan Pancasila dipertahankan sebagai ideologi bangsa.
Secara terpisah Nur Azizah Tambunan anggota DPRD Sumut 2009-2010 menilai makna dari Kesaktian Pancasila saat ini belum terintegrasi. Ini disebabkan kurangnya ketauladanan. Bagi Azizah, hari Kesaktian Pancasila ini merupakan roh dan jiwanya setiap warga negara Indonesia.
Pancasila menurutnya merupakan substansi dari keberagaman beragama di Indonesia yang mengandung nilai nilai kebenaran. "Pancasila merupakan pondasi yang mampu membatasi diri masyarakat, jadi dasar pijakan. Jika ini kokoh, berarti rakyat maupun bangsa ini akan aman dari gangguan eksternal maupun internal," katanya.
Menurut pemahaman Azizah, 1 Oktober memiliki arti, semangat baru untuk sebuah pondasi. Harusnya setelah hari itu, akan menjadi awal mula dari semangat baru.
Peringatan seperti tahun-tahun sebelumnya, dinilainya masih tetap penting dan diharapkan tidak hanya pada sebatas peringatan semata.
"Diharapkan, tidak hanya sekedar mata pelajaran, simbol yang dibacakan maupun diperlombakan dalam ajang cerdas cermat saja. Namun ini lebih dari sekedar simbol yang ada dalam sistem kenegaraan," tukasnya.
Bag Azizah, peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu sangat perlu dilakukan khususnya terhada para siswa, dengan tujuan untuk menanamkan jiwa-jiwa nasionalisme dan menyampaikan tentang nilai-nilai luhur dari Pancasila itu.
"Apabila hal ini tidak dilakukan lagi, saya khawatir akan bisa menghilangkan tentang makna Hari Kesaktian Pancasila itu yang pada akhirnya bisa memudarkan sejarah tersebut," kata Azizah.
referensi : Harian Global
Tidak ada komentar:
Posting Komentar